Selasa, 29 November 2011

Perdebatan Kritis Mahasiswa, Ketika Intelektualitas dibalas dengan Hukum Primitif


Kehidupan mahasiswa senantiasa menampilkan dinamika pergerakan intelektualitas yang kritis dalam berpikir, berwacana, bersikap, dan bertindak. Berbagai wujud di interpretasikan dalam berbagai bentuk sebagai bukti akan keintelektualitasan mahasiswa baik berupa pergerakan, tulisan, hingga yang paling radikal sekalipun tetapi radikal dalam konteks mahasiswa adalah radikal yang berideologi sehingga tetap pada ranah dan batas-batas tertentu.
Dinamika pemikiran kritis adalah pengantar utama dari seorang mahasiswa dalam menyikapi berbagai bentuk realita maupun teori yang ada, dan pergerakan mahasiswa menjadi bentuk aktualisasi dari pemikiran kritis tersebut. Dan tidak jarang saling kritis-mengkritisi terjadi antar mahasiswa ataupun pada organisasi pergerakan mahasiswa itu sendiri, jadi mahasiswa sebagai subjek menjadi rival kepada mahasiswa lainnya, dan ini berarti intelektualitas menjadi pesaing bagi intelektualitas lainnya sehingga perdebatan pemikiran kritis pun berpolemik menjadi sarana pergolakan keintelektualitasan mahasiswa.
Tetapi tidak semua mahasiswa memiliki dedikasi intelektualitas yang memadai yang mampu menyikapi perdebatan kritis melalui pemikiran mereka dan terkadang kebiasaan primitif berupa kekerasan fisik yang berasal dari kultur mahasiswa tersebut berasal, terbawa-bawa pada pertarungan intelektualitas antar mahasiswa padahal hal ini sangat jauh berbeda, disini ranah mahasiswa, ranah untuk mengembangkan pola berpikir dalam keintelektualitasan bukan ranah orang kampung yang menggunakan kekerasan semaunya yang tidak pada tempatnya. Dan adakalanya sebagian dari mereka ketika dihadapkan ditengah keadaan yang terus mengkritisi antar mahasiswa, hal ini menuntut dan memberikan penekanan-penekanan untuk mereka dalam melontarkan keintelektualitasan sebagai pesaing mahasiswa kepada mahasiswa lainnya, tetapi ketidakberdayaan dan ketidaksanggupan intelektualitas merekalah sehingga opsi fisik sebagai hukum primitif pun menjadi satu-satunya pilihan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa hukum primitif akan berlaku bagi mahasiswa yang tidak mampu menyaingi mahasiswa lainnya dalam gesekan pemikiran yang kritis sehingga peristiwa berdarahpun menjadi satu-satunya cara sebagai jalan pintas untuk memenuhi hasrat sebagai pesaing.
Dan ketika intelektualitas dibalas dengan hukum primitif maka akan hilanglah kultur kemajemukan berpikir yang didapat dari kritis-mengkritisi dalam wilayah tersebut. Karena pada saat setiap bentuk kritis yang berwujud dalam keintelektualitasan dilontarkan oleh sebagian mahasiswa, maka akan ditenggelamkan melalui hukum primitif oleh sebagian mahasiswa lainnya, jelas, ranah ini menjadi terlalu sempit untuk mengembangkan keintelektualitasan mahasiswa menjadi mahasiswa ideal yang berfungsi sebagai agent of change, social control, the founding father, dan lain sebagainya.
Ironis memang ketika perdebatan kritis mahasiswa yang disikapi melalui keintelektualitasan tetapi dibalas dengan hukum primitif oleh mahasiswa lainnya, coba faham dan mengertilah bahwa kita adalah mahasiswa dan memang selayaknya mahasiswa dengan mahasiswa lainnya saling beradu argumen untuk menambah wawasan, saling melakukan pergerakan untuk membentuk lifeskill dan mahasiswa harus berpikir kritis dan memang mesti harus berpikir kritis karena berpikir kritis inilah yang menjadi khas kita sebagai mahasiswa dan berpikir kritis inilah yang membedakan kita sebagai elemen mahasiswa dengan stakeholders lainnya.
Tidak rindukah kalian dengan suasana dan kultur kampus yang penuh dengan keintelektualitasan mahasiswa, bukan intelektualitas dalam hal kepanitiaan maupun aksi tetapi kita butuh kultur kampus yang penuh dengan keintelektualitasan strategik dalam menyikapi segala hal. Tetapi kendala kita saat ini disaat sikap kritis sebagai ciri khas mahasiswa berdengung seolah terdapat kepanikan yang besar dalam menyikapi hal ini, parahnya kekritisan ini membekas selama bertahun-tahun didalam benak diri seseorang yang menjadi objek sudut kekritisan tersebut.
Padahal layaknya sebagai mahasiswa haruslah berani dikritisi dan berani mengkritisi. Berani dikritisi karena memang mahasiswa sebagai manusia tidak luput dari segala khilaf baik khilaf dalam berwacana, bersikap, maupun bertindak jadi kita sebagai mahasiswa sesungguhnya apabila dikritisi berterimakasih kepada setiap orang yang mengkritisi karena sesungguhnya mereka tersebut telah mencoba membantu kita untuk meluruskan pijakan kita tetap pada ranah yang ada agar kita tidak lupa diri sehingga melambung dan melayang tanpa sadar. Dan sesungguhnya rasa sakit dari ketersinggunngan saat dikritisi merupakan bentuk bahwa kita sadar akan perbuatan kita oleh karenanya pantaslah kita tersinggung dan fahamilah kawan bahwa kekritisan memang kadang kala  menyinggung karena jikalau tidak menyinggung susah untuk mengembalikan orang yang melayang dan melambung tersebut dalam proses kembali berpijak ke tanah agar tidak lupa diri tetapi terkadang kita apabila telah disinggung maka akan memendam rasa ketersinggungan hingga bertahun-tahun lamanya, berubahlah kawan kini kita mahasiswa bukan lagi orang kampung, kini kita sebagai  tokoh intelektual, tokoh militan bukan lagi seperti kita yang dulu, anggota DPR saja meski mereka berkelahi didalam persidangan tetapi tetap adem ayem saat diluar persidangan makanya tidak aneh bila setelah mereka berkelahi di dalam persidangan lalu mereka makan bersama ketika persidangan usai, karena mereka bisa menempatkan diri. Dan kita pula sebagai mahasiswa jangan takut untuk mengkritisi segala sesuatu tetapi perlu diingat mengkritisi bukan untuk mencari kesalahan-kesalahan suatu hal tetapi lebih sebagai mencari dan mengungkapkan kebenaran-kebenaran yang ada yang memang sesuai dengan apa yang terjadi sesungguhnya.
Dalam menghadapi kenyataan segala hal diatas saatnya kita sebagai mahasiswa mengembalikan kultur kampus akan keintelektualitasan dan menjadikan kampus sebagai pusat aktivitas untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran baik dalam bentuk diskusi, aktualisasi nyata, perdebatan kritis, maupun segala hal lainnya dengan menyikapi pandangan intelektualitas dengan intelektualitas bukan menyikapi intelektualitas dengan hukum primitif dan kita sebagai mahasiswa mestilah dapat menempatkan diri pada tempatnya dan janganlah ketersinggungan di forum terbawa-bawa pada lokasi dan wilayah yang berbeda karena orang yang bijak adalah orang yang mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya.

By. Zhufi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar