Kehidupan mahasiswa senantiasa menampilkan dinamika pergerakan
intelektualitas yang kritis dalam berpikir, berwacana, bersikap, dan bertindak.
Berbagai wujud di interpretasikan dalam berbagai bentuk sebagai bukti akan
keintelektualitasan mahasiswa baik berupa pergerakan, tulisan, hingga yang
paling radikal sekalipun tetapi radikal dalam konteks mahasiswa adalah radikal
yang berideologi sehingga tetap pada ranah dan batas-batas tertentu.
Dinamika pemikiran kritis adalah pengantar utama dari seorang mahasiswa
dalam menyikapi berbagai bentuk realita maupun teori yang ada, dan pergerakan
mahasiswa menjadi bentuk aktualisasi dari pemikiran kritis tersebut. Dan tidak
jarang saling kritis-mengkritisi terjadi antar mahasiswa ataupun pada
organisasi pergerakan mahasiswa itu sendiri, jadi mahasiswa sebagai subjek
menjadi rival kepada mahasiswa lainnya, dan ini berarti intelektualitas menjadi
pesaing bagi intelektualitas lainnya sehingga perdebatan pemikiran kritis pun
berpolemik menjadi sarana pergolakan keintelektualitasan mahasiswa.
Tetapi tidak semua mahasiswa memiliki dedikasi intelektualitas yang memadai
yang mampu menyikapi perdebatan kritis melalui pemikiran mereka dan terkadang
kebiasaan primitif berupa kekerasan fisik yang berasal dari kultur mahasiswa
tersebut berasal, terbawa-bawa pada pertarungan intelektualitas antar mahasiswa
padahal hal ini sangat jauh berbeda, disini ranah mahasiswa, ranah untuk
mengembangkan pola berpikir dalam keintelektualitasan bukan ranah orang kampung
yang menggunakan kekerasan semaunya yang tidak pada tempatnya. Dan adakalanya sebagian
dari mereka ketika dihadapkan ditengah keadaan yang terus mengkritisi antar
mahasiswa, hal ini menuntut dan memberikan penekanan-penekanan untuk mereka
dalam melontarkan keintelektualitasan sebagai pesaing mahasiswa kepada
mahasiswa lainnya, tetapi ketidakberdayaan dan ketidaksanggupan intelektualitas
merekalah sehingga opsi fisik sebagai hukum primitif pun menjadi satu-satunya pilihan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa hukum primitif akan berlaku bagi mahasiswa yang
tidak mampu menyaingi mahasiswa lainnya dalam gesekan pemikiran yang kritis
sehingga peristiwa berdarahpun menjadi satu-satunya cara sebagai jalan pintas
untuk memenuhi hasrat sebagai pesaing.
Dan ketika intelektualitas dibalas dengan hukum primitif maka akan
hilanglah kultur kemajemukan berpikir yang didapat dari kritis-mengkritisi
dalam wilayah tersebut. Karena pada saat setiap bentuk kritis yang berwujud
dalam keintelektualitasan dilontarkan oleh sebagian mahasiswa, maka akan ditenggelamkan
melalui hukum primitif oleh sebagian mahasiswa lainnya, jelas, ranah ini
menjadi terlalu sempit untuk mengembangkan keintelektualitasan mahasiswa
menjadi mahasiswa ideal yang berfungsi sebagai agent of change, social
control, the founding father, dan lain sebagainya.
Ironis memang ketika perdebatan kritis mahasiswa yang disikapi melalui
keintelektualitasan tetapi dibalas dengan hukum primitif oleh mahasiswa lainnya,
coba faham dan mengertilah bahwa kita adalah mahasiswa dan memang selayaknya
mahasiswa dengan mahasiswa lainnya saling beradu argumen untuk menambah wawasan,
saling melakukan pergerakan untuk membentuk lifeskill dan mahasiswa
harus berpikir kritis dan memang mesti harus berpikir kritis karena berpikir kritis
inilah yang menjadi khas kita sebagai mahasiswa dan berpikir kritis inilah yang
membedakan kita sebagai elemen mahasiswa dengan stakeholders lainnya.
Tidak rindukah kalian dengan suasana dan kultur kampus yang penuh dengan
keintelektualitasan mahasiswa, bukan intelektualitas dalam hal kepanitiaan
maupun aksi tetapi kita butuh kultur kampus yang penuh dengan
keintelektualitasan strategik dalam menyikapi segala hal. Tetapi kendala kita
saat ini disaat sikap kritis sebagai ciri khas mahasiswa berdengung seolah
terdapat kepanikan yang besar dalam menyikapi hal ini, parahnya kekritisan ini
membekas selama bertahun-tahun didalam benak diri seseorang yang menjadi objek
sudut kekritisan tersebut.
Padahal layaknya sebagai mahasiswa haruslah
berani dikritisi dan berani mengkritisi. Berani dikritisi karena memang
mahasiswa sebagai manusia tidak luput dari segala khilaf baik khilaf dalam berwacana,
bersikap, maupun bertindak jadi kita sebagai mahasiswa sesungguhnya apabila
dikritisi berterimakasih kepada setiap orang yang mengkritisi karena sesungguhnya
mereka tersebut telah mencoba membantu kita untuk meluruskan pijakan kita tetap
pada ranah yang ada agar kita tidak lupa diri sehingga melambung dan melayang
tanpa sadar. Dan sesungguhnya rasa sakit dari ketersinggunngan saat dikritisi
merupakan bentuk bahwa kita sadar akan perbuatan kita oleh karenanya pantaslah
kita tersinggung dan fahamilah kawan bahwa kekritisan memang kadang kala menyinggung karena jikalau tidak menyinggung susah
untuk mengembalikan orang yang melayang dan melambung tersebut dalam proses
kembali berpijak ke tanah agar tidak lupa diri tetapi terkadang kita apabila
telah disinggung maka akan memendam rasa ketersinggungan hingga bertahun-tahun
lamanya, berubahlah kawan kini kita mahasiswa bukan lagi orang kampung, kini
kita sebagai tokoh intelektual, tokoh
militan bukan lagi seperti kita yang dulu, anggota DPR saja meski mereka
berkelahi didalam persidangan tetapi tetap adem ayem saat diluar persidangan
makanya tidak aneh bila setelah mereka berkelahi di dalam persidangan lalu mereka
makan bersama ketika persidangan usai, karena mereka bisa menempatkan diri. Dan
kita pula sebagai mahasiswa jangan takut untuk mengkritisi segala sesuatu
tetapi perlu diingat mengkritisi bukan untuk mencari kesalahan-kesalahan suatu
hal tetapi lebih sebagai mencari dan mengungkapkan kebenaran-kebenaran yang ada
yang memang sesuai dengan apa yang terjadi sesungguhnya.
Dalam menghadapi kenyataan segala hal diatas saatnya kita sebagai mahasiswa
mengembalikan kultur kampus akan keintelektualitasan dan menjadikan kampus
sebagai pusat aktivitas untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran baik dalam
bentuk diskusi, aktualisasi nyata, perdebatan kritis, maupun segala hal lainnya
dengan menyikapi pandangan intelektualitas dengan intelektualitas bukan
menyikapi intelektualitas dengan hukum primitif dan kita sebagai mahasiswa mestilah
dapat menempatkan diri pada tempatnya dan janganlah ketersinggungan di forum
terbawa-bawa pada lokasi dan wilayah yang berbeda karena orang yang bijak
adalah orang yang mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya.
By. Zhufi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar