Selasa, 29 November 2011

Diskusi Mahasiswa IAIN Antasari, Kesenjangan Antara Teori dan Aktualisasi


Pernahkah anda memperhatikan keberlangsungan diskusi mahasiswa IAIN Antasari Banjarmasin ?, yang dapat kita lihat dan kita ikuti hampir disetiap sore hari di IAIN Antasari sendiri, berbagi organisasi mengambil andil besar dalam menyelenggarakan diskusi ini, baik organisasi eksternal kampus maupun organisasi internal kampus yang hampir seluruhnya menyelenggarakan diskusi secara aktif berkala pada setiap minggunya. Tetapi sekali lagi saya tanyakan pernahkah anda memperhatikan keberlangsungan diskusi mahasiswa IAIN Antasari Banjarmasin tersebut ?
Bertahun-tahun diskusi tersebut berlangsung dan bertahun-tahun pula teori kering tanpa aktualisasi menjadi seni menonjolkan dedikasi palsu dari pemuka-pemuka mahasiswa IAIN Antasari, hingga kini tak pernah terdengar mahasiswa IAIN Antasari memberikan andil dan pengaruh besar terhadap problematika yang berstatus lokal Banjarmasin, padahal  tema diskusi seringkali mengarah pada solusi atas problematika nasional yang ada, jika kita pikirkan..., memberikan solusi nyata atas problematika di Banjarmasinpun tidak bisa, apalagi solusi nyata atas problematika di regional, lebih lebih memberikan solusi nyata atas problematika di nasional. Padahal solusi itulah yang terus-terusan menjadi pembahasan pada diskusi mahasiswa IAIN Antasari  selama berminggu-minggu yang terhitung selama  bertahun-tahun hingga saat ini, dan hingga kini pula  pembahasan skala nasional itulah yang menjadi tema  favorit dalam diskusi tersebut yang kita ketahui sebenarnya pembahasan tersebut sesungguhnya telah didominasi oleh kebutaan aktualisasi oleh mahasiswa- mahasiswa IAIN Antasari sendiri.
Tentu saja diskusi yang mereka lakukan lebih baik dari pada hanya tidur-tiduran di rumah, di kos, ataupun di asrama, tetapi tidak salah jika kita menangih dan menuntut aktualisasi dari teori yang mereka bawakan pada diskusi yang terus menerus  berjalan dan memang mesti ditagih dan  dituntut aktualisasi teori yang mereka paparkan  sebagai bentuk konsistensinya segala yang mereka seru dan mereka dengungkan. Menagih dan menuntut aktualisasi sebagai pembuktian akan fungsi mahasiswa yakni agent of change, sosial control, dan lain sebagainya, ataukah fungsi mahasiswa tersebut kini hanya berupa simbol belaka yang melekat pada sebagian besar mahasiswa IAIN Antasari yang sesungguhnya mereka  pun tidak bisa membuktikan dan mengkonsistenkan antara teori yang mereka seru dan mereka dengungkan dengan aktualisasikan yang mereka kerjakan. Seperti inikah sebagian besar sosok mahasiswa IAIN Antasari yang kita banggakan.
Dalam diskusi yang sering dijumpai, mahasiswa telah melakukan berbagai macam cara dalam menyampaikan teori sebagai wujud pembuktian dedikasi mereka, tetapi sungguh terdapat kesenjangan yang besar antara teori yang mereka paparkan dengan aktualisasi yang mereka kerjakan walaupun tidak sedikit dari mereka mencoba mengaktualisasikan teori yang mereka dengungkan dengan aksi turun kejalan.  Ketika sebagian mahasiswa mencoba mengaktualisasikan pandangan realita diri mereka dalam bentuk aksi turun kejalan, maka ketika itu haruslah aksi mereka mendapatkan perhatian dan pengaruh yang dominan tentang isu yang mereka lontarkan, tetapi fakta menunjukkan, segala aksi yang dilakukan mahasiswa IAIN Antasari tidaklah mendapatkan perhatian dan memberikan pengaruh yang kuat terhadap solusi atas problematika yang mereka ajukan, bagi saya terhadap aksi yang mereka lakukan sama halnya seperti himbauan jangan buang sampah sembarangan, yang tanpa mereka desak melalui aksi ataupun tidak, tetap tidak memberikan pengaruh kuat terhadap perhatian dan kinerja para anggota legislatif ataupun eksekutif, artinya disini selain mengharapkan anggota legislatif dan eksekutif mengambil keputusan untuk bertindak atas solusi dari problematika yang mereka dengungkan, haruslah ada solusi nyata yang mampu diwujudkan mahasiswa IAIN Antasari Banjarmasin atas teori pemaparan mereka sendiri yang dimulai dari yang termudah  yang mampu mereka aktualisasikan, sekiranya itu lebih baik dibandingkan mahasiswa yang memiliki intelektualitas dan dedikasi tinggi dalam berbicara tetapi aktualisasi yang mereka kerjakan bernilai nol.
Banyak hal yang dapat di aktualisasikan, dimulai dari yang kecil hingga yang besar, dimulai dari yang mudah hingga yang susah, dimulai dari yang sederhana hingga yang rumit, pertanyaannya...? adakah keinginan untuk mengaktualisasikan ?, study oriented menjadi alasan sebagian besar mahasiswa tidak mengaktualisasikan setiap teori yang mereka utarakan, atau pikiran-pikiran mereka yang mempersulit mereka untuk mengaktualisasikan setiap teori  yang mereka paparkan atau bahkan aktualisasi dari teori yang mereka utarakan tidak pernah mereka pikirkan, sungguh meraka  telah berbohong pada diri mereka sendiri , sungguh mereka telah menyalahi pandangan realita yang mereka amati.
Sinis melihat  kenyataan yang ada pada mahasiswa IAIN Antasari Banjarmasin. Selama bertahun-tahun diskusi dijalankan tetapi minim akan aktualisasi nyata yang dijalankan. Mari kita sebagai mahasiswa IAIN Antasari Banjarmasin sejak kini merubah sikap berusaha mengaktualisasikan teori yang didengungkan dan diajukan dimulai dari yang kecil, dari yang mudah, dan dari yang sederhana.

Berani berteori, berani beraktualisasi

By. zhufi

Perdebatan Kritis Mahasiswa, Ketika Intelektualitas dibalas dengan Hukum Primitif


Kehidupan mahasiswa senantiasa menampilkan dinamika pergerakan intelektualitas yang kritis dalam berpikir, berwacana, bersikap, dan bertindak. Berbagai wujud di interpretasikan dalam berbagai bentuk sebagai bukti akan keintelektualitasan mahasiswa baik berupa pergerakan, tulisan, hingga yang paling radikal sekalipun tetapi radikal dalam konteks mahasiswa adalah radikal yang berideologi sehingga tetap pada ranah dan batas-batas tertentu.
Dinamika pemikiran kritis adalah pengantar utama dari seorang mahasiswa dalam menyikapi berbagai bentuk realita maupun teori yang ada, dan pergerakan mahasiswa menjadi bentuk aktualisasi dari pemikiran kritis tersebut. Dan tidak jarang saling kritis-mengkritisi terjadi antar mahasiswa ataupun pada organisasi pergerakan mahasiswa itu sendiri, jadi mahasiswa sebagai subjek menjadi rival kepada mahasiswa lainnya, dan ini berarti intelektualitas menjadi pesaing bagi intelektualitas lainnya sehingga perdebatan pemikiran kritis pun berpolemik menjadi sarana pergolakan keintelektualitasan mahasiswa.
Tetapi tidak semua mahasiswa memiliki dedikasi intelektualitas yang memadai yang mampu menyikapi perdebatan kritis melalui pemikiran mereka dan terkadang kebiasaan primitif berupa kekerasan fisik yang berasal dari kultur mahasiswa tersebut berasal, terbawa-bawa pada pertarungan intelektualitas antar mahasiswa padahal hal ini sangat jauh berbeda, disini ranah mahasiswa, ranah untuk mengembangkan pola berpikir dalam keintelektualitasan bukan ranah orang kampung yang menggunakan kekerasan semaunya yang tidak pada tempatnya. Dan adakalanya sebagian dari mereka ketika dihadapkan ditengah keadaan yang terus mengkritisi antar mahasiswa, hal ini menuntut dan memberikan penekanan-penekanan untuk mereka dalam melontarkan keintelektualitasan sebagai pesaing mahasiswa kepada mahasiswa lainnya, tetapi ketidakberdayaan dan ketidaksanggupan intelektualitas merekalah sehingga opsi fisik sebagai hukum primitif pun menjadi satu-satunya pilihan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa hukum primitif akan berlaku bagi mahasiswa yang tidak mampu menyaingi mahasiswa lainnya dalam gesekan pemikiran yang kritis sehingga peristiwa berdarahpun menjadi satu-satunya cara sebagai jalan pintas untuk memenuhi hasrat sebagai pesaing.
Dan ketika intelektualitas dibalas dengan hukum primitif maka akan hilanglah kultur kemajemukan berpikir yang didapat dari kritis-mengkritisi dalam wilayah tersebut. Karena pada saat setiap bentuk kritis yang berwujud dalam keintelektualitasan dilontarkan oleh sebagian mahasiswa, maka akan ditenggelamkan melalui hukum primitif oleh sebagian mahasiswa lainnya, jelas, ranah ini menjadi terlalu sempit untuk mengembangkan keintelektualitasan mahasiswa menjadi mahasiswa ideal yang berfungsi sebagai agent of change, social control, the founding father, dan lain sebagainya.
Ironis memang ketika perdebatan kritis mahasiswa yang disikapi melalui keintelektualitasan tetapi dibalas dengan hukum primitif oleh mahasiswa lainnya, coba faham dan mengertilah bahwa kita adalah mahasiswa dan memang selayaknya mahasiswa dengan mahasiswa lainnya saling beradu argumen untuk menambah wawasan, saling melakukan pergerakan untuk membentuk lifeskill dan mahasiswa harus berpikir kritis dan memang mesti harus berpikir kritis karena berpikir kritis inilah yang menjadi khas kita sebagai mahasiswa dan berpikir kritis inilah yang membedakan kita sebagai elemen mahasiswa dengan stakeholders lainnya.
Tidak rindukah kalian dengan suasana dan kultur kampus yang penuh dengan keintelektualitasan mahasiswa, bukan intelektualitas dalam hal kepanitiaan maupun aksi tetapi kita butuh kultur kampus yang penuh dengan keintelektualitasan strategik dalam menyikapi segala hal. Tetapi kendala kita saat ini disaat sikap kritis sebagai ciri khas mahasiswa berdengung seolah terdapat kepanikan yang besar dalam menyikapi hal ini, parahnya kekritisan ini membekas selama bertahun-tahun didalam benak diri seseorang yang menjadi objek sudut kekritisan tersebut.
Padahal layaknya sebagai mahasiswa haruslah berani dikritisi dan berani mengkritisi. Berani dikritisi karena memang mahasiswa sebagai manusia tidak luput dari segala khilaf baik khilaf dalam berwacana, bersikap, maupun bertindak jadi kita sebagai mahasiswa sesungguhnya apabila dikritisi berterimakasih kepada setiap orang yang mengkritisi karena sesungguhnya mereka tersebut telah mencoba membantu kita untuk meluruskan pijakan kita tetap pada ranah yang ada agar kita tidak lupa diri sehingga melambung dan melayang tanpa sadar. Dan sesungguhnya rasa sakit dari ketersinggunngan saat dikritisi merupakan bentuk bahwa kita sadar akan perbuatan kita oleh karenanya pantaslah kita tersinggung dan fahamilah kawan bahwa kekritisan memang kadang kala  menyinggung karena jikalau tidak menyinggung susah untuk mengembalikan orang yang melayang dan melambung tersebut dalam proses kembali berpijak ke tanah agar tidak lupa diri tetapi terkadang kita apabila telah disinggung maka akan memendam rasa ketersinggungan hingga bertahun-tahun lamanya, berubahlah kawan kini kita mahasiswa bukan lagi orang kampung, kini kita sebagai  tokoh intelektual, tokoh militan bukan lagi seperti kita yang dulu, anggota DPR saja meski mereka berkelahi didalam persidangan tetapi tetap adem ayem saat diluar persidangan makanya tidak aneh bila setelah mereka berkelahi di dalam persidangan lalu mereka makan bersama ketika persidangan usai, karena mereka bisa menempatkan diri. Dan kita pula sebagai mahasiswa jangan takut untuk mengkritisi segala sesuatu tetapi perlu diingat mengkritisi bukan untuk mencari kesalahan-kesalahan suatu hal tetapi lebih sebagai mencari dan mengungkapkan kebenaran-kebenaran yang ada yang memang sesuai dengan apa yang terjadi sesungguhnya.
Dalam menghadapi kenyataan segala hal diatas saatnya kita sebagai mahasiswa mengembalikan kultur kampus akan keintelektualitasan dan menjadikan kampus sebagai pusat aktivitas untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran baik dalam bentuk diskusi, aktualisasi nyata, perdebatan kritis, maupun segala hal lainnya dengan menyikapi pandangan intelektualitas dengan intelektualitas bukan menyikapi intelektualitas dengan hukum primitif dan kita sebagai mahasiswa mestilah dapat menempatkan diri pada tempatnya dan janganlah ketersinggungan di forum terbawa-bawa pada lokasi dan wilayah yang berbeda karena orang yang bijak adalah orang yang mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya.

By. Zhufi

Orang-Orang yang Terbuang



Tanpa kita sadari bahwa orang-orang yang terbuang, orang-orang yang diasingkan, orang-orang yang tidak dianggap, orang-orang yang penuh dengan kekecewaan ada disekitar kita, tetapi meski mereka ada disekitar kita  terkadang kita tidak tahu akan keberadaan mereka atau memang kita tidak mau tahu tentang kejadian yang menimpa mereka, padahal sesungguhnya mereka sedang menghadapi badai tekanan yang berat yang memang tidak tertampakkan dari wajah mereka, oleh karenanya penting bagi saya untuk bertanya kepada kita semua.
Pernahkah kita berpikir mengenai orang-orang yang terbuang tersebut? Pernahkah kita berpikir mengenai orang-orang yang diasingkan? Pernahkah kita berpikir mengenai orang-orang yang tidak dianggap? Pernahkah kita berperpikir mengenai orang-orang yang penuh dengan kekecewaan? Ketika seseorang telah miris akan kenyataan yang telah ia hadapi, maka ketika itu pula terdapat potensi besar didalam dirinya untuk melakukan perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan besar.
Adalah pendapat umum bahwa orang-orang seperti ini lebih dominan untuk dikucilkan dan dipisahkan dari golongan mereka, padahal tidakkah mereka berpikir bahwa hal ini sangat begitu menyakitkan dan sangat memberi beban psikologis yang berat yang menjadi faktor perubahan besar akan segera terjadi didalam diri mereka. Tak sedikitpun terbayangkan oleh orang-orang sekitar tentang perubahan itu. Perubahan yang menentukan esensi diri dalam dua hal, antara hancur termakan arus atau tetap bertahan meski terbakar diatas bara api menyala.
Ada satu hal yang terpenting, ketika seseorang mampu bertahan dari keterbuangan, keterasingan, keterkecewaan, ketidakteranggapan, maka jangan salah bahwa orang tersebut akan menjadi jauh lebih baik dibandingkan dengan orang-orang sekitar lainnya karena seseorang yang tiada henti mendapatkan tekanan-tekanan pada dirinya, pada pikirannya, pada hatinya, dan pada keyakinannya, maka seseorang tersebut akan dipaksa oleh suatu keadaan untuk melakukan perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan secara besar-besaran didalam hidupnya untuk segera bangkit menghadapi segala masalah yang ada. Tetapi jika ketidakmampuan untuk bertahan menghadapi tekanan-tekanan merasuk kedalam diri seseorang maka ketidakberdayaanlah yang menyebabkan hancurnya pikiran, dan hati seseorang karena ketidaksanggupannya menerima kenyataan dan melihat realita yang ada. Maka wajarlah jika kita menemui  kejadian banyaknya sesorang yang melakukan jalan pintas untuk menyelesaikan masalahnya tersebut seperti bunuh diri, nge-drug, dan lain sebagainya.
Hai orang-orang yang terbuang, yang terasingkan, yang kecewa, yang tidak dianggap, meski pedang kepedihan menusuk menyayat daging, meski lingkungan bagaikan sekumpulan binatang yang siap memakan, meski harapan bagaikan fatamurgana. Jangan bersedih kawan, walau fisik, pikiran, dan hati telah terkuras oleh sakitnya menghadapi realita keadaan, walau hujjatan seperti sekumpulan anak panah yang siap sigap untuk menusuk tulang rusuk, tetap jangan menyerah kawan karena memang perjuangan membutuhkan kesungguhan, karena memang akan ada kemudahan sesudah kesusahan, karena memang akan ada senyuman setelah tangisan, karena gelap akan segera tergantikan, dan Tuhan pencipta takdir pun telah mengatakan “tidak akan kutimpakan ujian kepada hamba-Ku kecuali sesuai batas kemampuannya”.
Dan kepada semua orang perhatikanlah, cobalah untuk memahami situasi orang-orang yang terbuang, berusahalah mencoba mengerti hati dari orang-orang yang terbuang, jangan menggunakan ego primitif kepada mereka karena sesungguhnya jika mereka bertukar posisi dengan anda, maka saat itulah anda akan benar-benar mengerti dan memahami bagaimana tekanan-tekanan yang dialami oleh orang-orang yang terbuang.
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (QS. Alam Nasyrah:5-6).
By. Zhufi

Menyingkap Paradigma Sosok Sejati Orang-Orang yang Tulus




Ketika pergerakan kehidupan diwarnai oleh berbagai macam sifat dan tingkah laku seseorang dalam berdinamika menyusuri proses kehidupan, ketika setiap paradigma, prinsip hidup, naluri, sipat dan sikap diinterpretasikan dalam berbagai bentuk pergerakan baik pergerakan perjuangan, kemanusiaan, kerohanian,  maupun pengetahuan, maka saat itu pula setiap orang akan menyusuri pengamatan dalam proses pencarian kebutuhan akan teman sejati seperjuangan dan saat itulah teman kepercayaan dan teman yang tulus dibutuhkan.
Dalam lipatan pemikiran, telah menjadi paradigma umum bahwa setiap manusia membutuhkan manusia yang lain sebagai tampat curahan hati, sebagai tempat menaruhkan kepercayaan, sebagai tempat barbagi rasionalitas, sebagai tempat menyamakan langkah pergerakan, sebagai tempat berbagi kenikmatan akan suka dan dukanya kehidupan tetapi sungguh terdapat kekeliruan oleh kebanyakan manusia dalam proses pengambilan penilaian akan sosok keidealan manusia yang sejatinya “tulus”.
Bagi manusia yang mempunyai hati dan pikiran, menjadi dilematis ditengah padatnya manusia apatis ditangah padatnya manusia dehumanis ketika hati berlorong perasaan selalu membutuhkan ketulusan akan indahnya persahabatan berbalut ketulusan yang masih dalam pencarian.
Adalah sebuah pengamatan kehidupan bahwa sejatinya orang yang tulus bukanlah orang yang so’ sibuk, bukanlah orang yang berdedikasi, bukanlah orang yang mahir dalam pergerakan, bukanlah orang yang berintelektualitas, bukanlah orang yang terkenal, bukanlah orang yang selalu menjaga citra dan image diri, bukanlah orang yang menjadi kebanggaan, bukanlah orang yang terkagumi, bukanlah orang yang populer. Bukan! Bukan! Bukan! Bukanlah mereka sejatinya orang yang tulus. Meskipun telah banyak orang-orang yang ingin menggapai seperti mereka tetapi sekali lagi saya tegaskan bukanlah mereka sejatinya orang yang tulus.

Betapapun banyaknya yang bersikeras bahwa orang-orang seperti merekalah yang selalu menjadi rujukan fokus pencarian peneman kehidupan, dan dikala teman-teman tetap bersikeras tentang hal itu, disini saya akan menyodorkan tantangan bagi teman-teman, beranikah teman-teman menjadi penjamin bahwa ketulusan mereka terhadap orang-orang sekitar mereka adalah ketulusan yang murni, adalah ketulusan yang tetap, adalah ketulusan yang penuh, adalah ketulusan yang tidak akan hilang, ataukah ketulusan mereka hanya sesaat, tidak menetap, ketulusan mereka hanya citra dan image diri mereka atau bahkan ketulusan mereka hanya settingan belaka karena ketidakinginan menyinggung hati dan perasaan orang lain, beranikah teman-teman manjamin akan hal itu.
Perlu teman-teman ketahui bahwa kadang kala kesibukan merekalah yang memburam dan mengkaburkan ketulusan mereka terhadap orang-orang sekitar dan memang sudah rutinitas kesibukan mereka yang berlarut sehingga tidak sepenuhnyalah ketulusan yang mereka punya dicurahkan untuk orang-orang sekitar mereka. Mereka terlalu sibuk sehingga bukan perhatian dan fokus utama mereka untuk mengetahui keadaan orang-orang sekitar mereka khususnya keadaan seseorang yang menganggap mereka istimewa dan keadaan seseorang yang menaruhkan banyak harapan kepada mereka, sungguh mereka tidak bisa diharap memberikan ketulusan yang sepenuhnya kepada orang-orang yang senantiasa berharap akan keberadaan dirinya. Dan merekapun tidak bisa dan tidak boleh disalahkan atas tidak balancenya ketulusan yang ia berikan kepada orang-orang sekitar mereka karena mereka punya dunia sendiri sebagai ambisi yang lebih difokuskan dari pada hanya mengurusi terus menerus orang-orang sekitar mereka dan hal itu dalam benak mereka sah-sah saja.
Tulisan ini berusaha menunjukkan kepada teman-teman bahwa sebagian besar orang-orang menaruh harapan besar terhadap mereka, menaruh harapan besar untuk menjadi teman yang sekali lagi saya tegaskan sebagai tampat curahan hati, sebagai tempat menaruhkan kepercayaan, sebagai tempat barbagi rasionalitas, sebagai tempat menyamakan langkah pergerakan, sebagai tempat berbagi kenikmatan akan suka dan dukanya kehidupan, dan sebagian besar orang-orang beranggapan bahwa orang-orang seperti merekalah yang patut diharap, padahal tidak ada yang bisa menjamin akan hal itu, berarti bukanlah mereka sejatinya orang-orang yang tulus yang menjadi pencarian sebagian banyak orang.

Lantas seperti apakah orang-orang yang sejatinya tulus tersebut?
Dalam pengamatan terhadap pergerakan kehidupan manusia terdapat sosok seseorang yang luput dari perhatian sebagian banyak orang, mereka adalah “orang yang biasa-biasa” saja, meski ketulusan diberikan secara sungguh-sungguh dan kesetiaan untuk berbagi selalu tersediakan dari mereka yang mencakup berbagai hal, berbagai tempat dan berbagai waktu karena mereka mempunyai banyak kesempatan untuk menjadi teman sebagai curahan hati dan lain sebagainya tetapi oleh sebagian banyak orang mereka hampir dianggap tidak ada bahkan lebih parah mereka dipandang sebelah mata oleh orang-orang lainnya dan hanya sedikit orang yang menyadari akan eksistensi keberadaan mereka, orang yang dianggap tanpa keistimewaan, orang yang dianggap tidak bisa apa-apa, orang yang dianggap bagian manusia kelas bawah, orang yang terasingkan.
Sungguh mereka orang-orang yang terlupakan, terbaikan, terhiraukan, padahal sesungguhnya mereka dekat, jauh lebih dekat dibandingkan orang-orang termasyur lainnya, tetapi kadang kala kehadiran mereka menjadi tabu bagi sebagian banyak orang. Mereka sedih karena ketidakterangggapan dan ketidakhirauan selalu membalut penglihatan dan pandangan orang-orang kepada mereka, diskriminasi batin selalu menghiasi mereka dikala fokus pencarian sebagian banyak manusia akan sejatinya orang-orang tulus sedang berproses pada setiap diri seseorang yang disaat itu pula setiap orang memutilasi pandangan mereka terhadap orang-orang yang biasa-biasa saja.
Dalam kaitannya mengenai ketulusan, orang-orang yang biasa-biasa saja adalah orang  sangat dekat dengan sesorang apabila persahabatan telah melekat pada dirinya dan ketulusan yang dapat ia berikan adalah ketulusan yang penuh karena memang tidak ada faktor lain yang menjadi fokus perhatian orang-orang yang biasa-biasa tersebut, mereka dapat selalu menemani karena mereka memang tidak so’ sibuk, mereka akan tetap apa adanya tanpa dibalut oleh kepalsuan image diri, mereka akan ada pada setiap untaian curahan hati, mereka akan ada jika sewaktu-waktu dibutuhkan, mereka akan selalu jujur dalam memberi pendapat, mereka teman yang ada disaat kebutuhan atas keinginan akan perbincangan, merekalah orang-orang yang biasa-biasa saja tetapi oleh sebagian banyak orang berpikir bahwa mereka adalah orang – orang yang tanpa keistimewaan padahal merekalah “orang yang paling tulus”.