Selasa, 29 November 2011

Menyingkap Paradigma Sosok Sejati Orang-Orang yang Tulus




Ketika pergerakan kehidupan diwarnai oleh berbagai macam sifat dan tingkah laku seseorang dalam berdinamika menyusuri proses kehidupan, ketika setiap paradigma, prinsip hidup, naluri, sipat dan sikap diinterpretasikan dalam berbagai bentuk pergerakan baik pergerakan perjuangan, kemanusiaan, kerohanian,  maupun pengetahuan, maka saat itu pula setiap orang akan menyusuri pengamatan dalam proses pencarian kebutuhan akan teman sejati seperjuangan dan saat itulah teman kepercayaan dan teman yang tulus dibutuhkan.
Dalam lipatan pemikiran, telah menjadi paradigma umum bahwa setiap manusia membutuhkan manusia yang lain sebagai tampat curahan hati, sebagai tempat menaruhkan kepercayaan, sebagai tempat barbagi rasionalitas, sebagai tempat menyamakan langkah pergerakan, sebagai tempat berbagi kenikmatan akan suka dan dukanya kehidupan tetapi sungguh terdapat kekeliruan oleh kebanyakan manusia dalam proses pengambilan penilaian akan sosok keidealan manusia yang sejatinya “tulus”.
Bagi manusia yang mempunyai hati dan pikiran, menjadi dilematis ditengah padatnya manusia apatis ditangah padatnya manusia dehumanis ketika hati berlorong perasaan selalu membutuhkan ketulusan akan indahnya persahabatan berbalut ketulusan yang masih dalam pencarian.
Adalah sebuah pengamatan kehidupan bahwa sejatinya orang yang tulus bukanlah orang yang so’ sibuk, bukanlah orang yang berdedikasi, bukanlah orang yang mahir dalam pergerakan, bukanlah orang yang berintelektualitas, bukanlah orang yang terkenal, bukanlah orang yang selalu menjaga citra dan image diri, bukanlah orang yang menjadi kebanggaan, bukanlah orang yang terkagumi, bukanlah orang yang populer. Bukan! Bukan! Bukan! Bukanlah mereka sejatinya orang yang tulus. Meskipun telah banyak orang-orang yang ingin menggapai seperti mereka tetapi sekali lagi saya tegaskan bukanlah mereka sejatinya orang yang tulus.

Betapapun banyaknya yang bersikeras bahwa orang-orang seperti merekalah yang selalu menjadi rujukan fokus pencarian peneman kehidupan, dan dikala teman-teman tetap bersikeras tentang hal itu, disini saya akan menyodorkan tantangan bagi teman-teman, beranikah teman-teman menjadi penjamin bahwa ketulusan mereka terhadap orang-orang sekitar mereka adalah ketulusan yang murni, adalah ketulusan yang tetap, adalah ketulusan yang penuh, adalah ketulusan yang tidak akan hilang, ataukah ketulusan mereka hanya sesaat, tidak menetap, ketulusan mereka hanya citra dan image diri mereka atau bahkan ketulusan mereka hanya settingan belaka karena ketidakinginan menyinggung hati dan perasaan orang lain, beranikah teman-teman manjamin akan hal itu.
Perlu teman-teman ketahui bahwa kadang kala kesibukan merekalah yang memburam dan mengkaburkan ketulusan mereka terhadap orang-orang sekitar dan memang sudah rutinitas kesibukan mereka yang berlarut sehingga tidak sepenuhnyalah ketulusan yang mereka punya dicurahkan untuk orang-orang sekitar mereka. Mereka terlalu sibuk sehingga bukan perhatian dan fokus utama mereka untuk mengetahui keadaan orang-orang sekitar mereka khususnya keadaan seseorang yang menganggap mereka istimewa dan keadaan seseorang yang menaruhkan banyak harapan kepada mereka, sungguh mereka tidak bisa diharap memberikan ketulusan yang sepenuhnya kepada orang-orang yang senantiasa berharap akan keberadaan dirinya. Dan merekapun tidak bisa dan tidak boleh disalahkan atas tidak balancenya ketulusan yang ia berikan kepada orang-orang sekitar mereka karena mereka punya dunia sendiri sebagai ambisi yang lebih difokuskan dari pada hanya mengurusi terus menerus orang-orang sekitar mereka dan hal itu dalam benak mereka sah-sah saja.
Tulisan ini berusaha menunjukkan kepada teman-teman bahwa sebagian besar orang-orang menaruh harapan besar terhadap mereka, menaruh harapan besar untuk menjadi teman yang sekali lagi saya tegaskan sebagai tampat curahan hati, sebagai tempat menaruhkan kepercayaan, sebagai tempat barbagi rasionalitas, sebagai tempat menyamakan langkah pergerakan, sebagai tempat berbagi kenikmatan akan suka dan dukanya kehidupan, dan sebagian besar orang-orang beranggapan bahwa orang-orang seperti merekalah yang patut diharap, padahal tidak ada yang bisa menjamin akan hal itu, berarti bukanlah mereka sejatinya orang-orang yang tulus yang menjadi pencarian sebagian banyak orang.

Lantas seperti apakah orang-orang yang sejatinya tulus tersebut?
Dalam pengamatan terhadap pergerakan kehidupan manusia terdapat sosok seseorang yang luput dari perhatian sebagian banyak orang, mereka adalah “orang yang biasa-biasa” saja, meski ketulusan diberikan secara sungguh-sungguh dan kesetiaan untuk berbagi selalu tersediakan dari mereka yang mencakup berbagai hal, berbagai tempat dan berbagai waktu karena mereka mempunyai banyak kesempatan untuk menjadi teman sebagai curahan hati dan lain sebagainya tetapi oleh sebagian banyak orang mereka hampir dianggap tidak ada bahkan lebih parah mereka dipandang sebelah mata oleh orang-orang lainnya dan hanya sedikit orang yang menyadari akan eksistensi keberadaan mereka, orang yang dianggap tanpa keistimewaan, orang yang dianggap tidak bisa apa-apa, orang yang dianggap bagian manusia kelas bawah, orang yang terasingkan.
Sungguh mereka orang-orang yang terlupakan, terbaikan, terhiraukan, padahal sesungguhnya mereka dekat, jauh lebih dekat dibandingkan orang-orang termasyur lainnya, tetapi kadang kala kehadiran mereka menjadi tabu bagi sebagian banyak orang. Mereka sedih karena ketidakterangggapan dan ketidakhirauan selalu membalut penglihatan dan pandangan orang-orang kepada mereka, diskriminasi batin selalu menghiasi mereka dikala fokus pencarian sebagian banyak manusia akan sejatinya orang-orang tulus sedang berproses pada setiap diri seseorang yang disaat itu pula setiap orang memutilasi pandangan mereka terhadap orang-orang yang biasa-biasa saja.
Dalam kaitannya mengenai ketulusan, orang-orang yang biasa-biasa saja adalah orang  sangat dekat dengan sesorang apabila persahabatan telah melekat pada dirinya dan ketulusan yang dapat ia berikan adalah ketulusan yang penuh karena memang tidak ada faktor lain yang menjadi fokus perhatian orang-orang yang biasa-biasa tersebut, mereka dapat selalu menemani karena mereka memang tidak so’ sibuk, mereka akan tetap apa adanya tanpa dibalut oleh kepalsuan image diri, mereka akan ada pada setiap untaian curahan hati, mereka akan ada jika sewaktu-waktu dibutuhkan, mereka akan selalu jujur dalam memberi pendapat, mereka teman yang ada disaat kebutuhan atas keinginan akan perbincangan, merekalah orang-orang yang biasa-biasa saja tetapi oleh sebagian banyak orang berpikir bahwa mereka adalah orang – orang yang tanpa keistimewaan padahal merekalah “orang yang paling tulus”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar