Kamis, 08 Desember 2011

Masih layakkah pancasila menjadi acuan kepemimpinan di Indonesia?


           Adalah pendapat umum bahwa pancasila merupakan ideologi yang terbaik yang dimiliki Indonesia karena bersifat statis dan bersifat dinamis dan oleh sebab itu pula pancasila selalu dipegang teguh dan menjadi rujukan sejak orde lama, orde baru, hingga reformasi. Pancasila bersifat statis artinya pancasila tidak bisa berubah dan tidak bisa diubah-ubah karena diklaim memiliki kedudukan yang universal sedangkan pancasila bersifat dinamis artinya pancasila memiliki aturan-aturan yang bersandar padanya seperti UUD 1945, UU, Perpres, Perda dan lainnya yang dapat selalu berubah-ubah untuk menyesuaikan dengan jaman tetapi tetap pada ruang lingkup pancasila itu sendiri. Secara tekstual, pancasila memang diagung-agungkan tetapi mari kita perhatikan kawan-kawan bagaimana realitas sesungguhnya akan penerapan pancasila itu sendiri dalam kepemimpinan di Indonesia, apakah pancasila dapat menjamin kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, dan masih layakkah pancasila menjadi ideologi bangsa Indonesia?
Masih layakkah pancasila menjadi acuan  kepemimpinan di Indonesia?
Sejak berubahnya sila kesatu yakni kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Secara otomatis bangsa Indonesia tidaklah bersandar pada ketetapan hukum langit yang absolutly yang jelas segala sistem pokoknya oleh ketetapan langit, tetapi dengan berubahnya sila kesatu tersebut bangsa Indonesia hanya bersandar pada sistem-sistem ketetapan manusia, dan dengan ini pula Indonesia bebas menerapkan berbagai sistem di Indonesia, baik sistem hukum, ekonomi maupun pemerintahan yang berdasar pada ketetapan-ketetapan olahan manusia pula. Sebagai manusia yang tidak pernah luput dari salah dan khilaf, pantaslah segala sistem di Indonesia banyak luput dan banyak pula salah yang tidak kurun khilaf terhadap rakyat Indonesia karena segala sistem yang dimainkan tidak memiliki standar keuniversalan dan keabsolutan.
Maka pantaslah dalam perjalanan kepemimpinan di Indonesia, rakyat Indonesia banyak dirugikan oleh sikap kepemimpinan yang menerapkan pancasila dari masa kemasa. Mari kita perhatikan kerugian rakyat Indonesia dalam perjalanan kepemimpinan yang beracuan pancasila dari orde lama, orde baru hingga reformasi.
Dapat kita lihat pada masa orde lama penerapan pancasila tidak sesuai dengan nilai pancasila sendiri, lihat saja sila kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa yang pada masa orde lama terdapat program khusus Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis) menggeliat dipertahankan oleh pemerintah Soekarno padahal  Komunis sendiri telah melanggar dari sila kesatu dan karena hal itu maka meledaklah peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965 yang juga menjadi pemicu akan tumbangnya orde lama. Perhatikan pula penerapan pancasila pada orde baru yang melanggar sila keempat yakni Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, yang dalam hal ini segala permusyawaratan selalu dipengaruhi oleh kekuasaan orde baru begitu pula pada rakyat Indonesia, segala bentuk perkumpulan yang menyuarakan pendapat selalu dibungkamkan, hal ini terlihat sebagai ketidakdemokratisan diberbagai aspek maka pantaslah orde baru juga ditumbangkan oleh mahasiswa  pada bulan mei 1998. Dan perhatikan pula penerapan nilai-nilai pancasila pada era reformasi sekarang,  pada sila kelima yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi tidak berarti menghadapi berbagai kasus mafia hukum, berbagai kasus korupsi yang bergerak secara desentral, yang terdapat diberbagai seluk beluk pemerintah pusat maupun daerah, kasian rakyat jelata yang tidak mengerti apa-apa selalu dipermainkan secara tidak adil.
Atas segala kekacauan penerapan pancasila tersebut bukanlah nilai-nilai pancasila yang mesti dipersalahkan disaat kegagalan kepemimpinan dalam menerapkan pancasila itu sendiri, tetapi yang patut dipersalahkan ialah pemimpin yang menjalankan segala kebijakan karena keluar dari koridor dan ruang lingkup pancasila, tetapi hal tersebut bagi pancasila maklum saja terjadi karena ya... itu tadi segala sistem-sistem di Indonesia merupakan karya manusia yang tidak teruji keabsahannya. Dan dari pancasila itu sendiri memang tidak terdapat sistem yang mampu mengarahkan segala penyelewengan penerapan pancasila mengarah pada penerapan pancasila yang benar dan jawaban pelarian atas problematika ini yakni ”dikembalikan kepada individu masing-masing terhadap kesadarannya”, sekarang saya akan bertanya,”sekiranya kalau ada seseorang yang tidak sadar akan perbuatannya apakah menunggu hingga ia sadar dulu ataukah perlu disadarkan?, jawaban logis dari pertanyaan ini yakni seorang tersebut mesti disadarkan karena kalau menunggu ia sadar mau sampai kapan hingga ia sadar mungkin keburu habis semua ia lahap baru ia sadar itupun kalau juga ia sadar dan kebanyakan yang kita temui ia malah lari tanpa kesadaran.
Seperti itulah pancasila, ia tidak mampu mengarahkan penerapan pokok yang sesuai dengan koridor pancasila itu sendiri, kenapa? Karena pancasila hanya berisi nilai-nilai to’ tidak ada selain hanya sebuah nilai yang sama halnya dengan nilai jangan buang sampah sembarangan dan apakah orang-orang akan membuang sampah sembarangan atau membuang sampah pada tempatnya,nilai tersebut hanya diam tertempel begitu saja, entah salah atau baik ulah manusia nilai tersebut hanya mengandalkan kesadaran masing-masing manusia, dan seperti yang saya katakan sebelumnya atas manusia yang tidak kunjung sadar apakah ingin menunggu dan terus menunggu hingga manusia tersebut sadar, sampai kapan!
UUD 1945, UU, Perpres, Perda dan lainnya berpacu kepada pancasila dan para aparat birokratlah yang menegakkan peraturan-peraturan tersebut tetapi jika para aparat birokrat tidak menjalankan sesuai dengan peraturan-peraturan tersebut yang sama persis dengan keadaan aparat birokrat saat ini di Indonesia berarti sama halnya membersihkan kotoran dengan sapu yang kotor ya tambah kotor ya kan, dan atas kejadian itu semua pancasila hanya terdiam menatap hal tersebut dan memaklumkan itu terjadi karena sebuah nilai hanya bisa mengandalkan kesadaran masing-masing oknum.
Perlu adanya sistem yang komplek disini, baik sistem asas, ideologi, hukum, ekonomi, pemerintahan, hingga sistem yang mampu mengangkat manusia baik manusia sebagai  manusia individualis, manusia sebagai manusia sosialis, maupun manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Tidak cukup hanya sebatas nilai tetapi perlu adanya pedoman pokok yang mutlak yang bersifat ideal tetapi tetap memandang realita yang ada yang memang keabsahannya terbukti dan terjamin sepanjang jaman sehingga dalam menajalankan sistem tersebut bersifat fleksibel terhadap setiap keadaan dan setiap jaman.
Taqiudin An Nhabani mengatakan didunia hanya terdapat tiga ideologi yang memiliki serangkaian sistem yang komplek yakni Islam, Kapitalisme, dan Komunisme. Jadi jelas pancasila bukan bagian yang termasuk memiliki sistem yang komplek tersebut, tetapi bukan berarti tiga sistem tersebut yang sempurna yang mewadahi rakyat didalamnya, setidaknya sistem mereka komplek dan saling keterikatan antara sistem satu dengan sistem lainnya. Walaupun terdapat banyak sekali spekulasi berupa kritikan dan ocehan mengenai tiga sistem komplek tersebut, seperti yang pernah dituliskan oleh Alexander Solzhenitsyn yang mengkritik kebobrokan sistem Komunisme dan Kapitalisme sehingga ia dikeluarkan dari kewarganegaraannya oleh penguasa Uni Soviet kala itu yakni Kremlin. Sedangkan Islam, merupakan agama langit yang menawarkan suatu sistem komplek yang berada dinaungan Khilafah Islamiyah  yang dibawakan oleh seorang Rosul kepada dunia dengan misi rahmatan lil alamin, banyak pula yang meragukan Khilafah Islamiyah seperti ini tetapi tidak sedikit pula yang memiliki integritas untuk mempertahankan sistem samawi ini.
Tetapi yang jelas pancasila tidak memberikan jawaban atas segala problematika yang terjadi di Indonesia dari masa kemasa yakni masa orde baru, orde lama dan reformasi sekarang ini. Setiap permasalahan menjadi semakin bermasalah walau tidak sedikit yang terselesaikan tetapi begitu banyak masalah yang disapu dengan masalah sehingga Indonesia saat ini komplek akan tumpang tindih masalah. Sudah enampuluh tahun lebih pancasila menjadi ideologi Indonesia tetapi kenapa Indonesia masih seperti ini? keadaan justru semakin parah, kemiskinan, penjajahan pemikiran, apatis, dehumanisasi, demoralisasi, korupsi, kolusi, nepotisme, mafia hukum, politikus tikus, dan masih banyak lagi, kenapa ini masih saja terjadi?  Tidakkah kawan-kawan garang memandang realita seperti ini, pemandangan terus menerus selama enampuluh tahun lebih, apa yang salah? Sehingga pantaslah eksistensi ini perlu dipertanyakan ”masih layakkah pancasila menjadi acuan kepemimpinan di Indonesia?”

Selasa, 29 November 2011

Diskusi Mahasiswa IAIN Antasari, Kesenjangan Antara Teori dan Aktualisasi


Pernahkah anda memperhatikan keberlangsungan diskusi mahasiswa IAIN Antasari Banjarmasin ?, yang dapat kita lihat dan kita ikuti hampir disetiap sore hari di IAIN Antasari sendiri, berbagi organisasi mengambil andil besar dalam menyelenggarakan diskusi ini, baik organisasi eksternal kampus maupun organisasi internal kampus yang hampir seluruhnya menyelenggarakan diskusi secara aktif berkala pada setiap minggunya. Tetapi sekali lagi saya tanyakan pernahkah anda memperhatikan keberlangsungan diskusi mahasiswa IAIN Antasari Banjarmasin tersebut ?
Bertahun-tahun diskusi tersebut berlangsung dan bertahun-tahun pula teori kering tanpa aktualisasi menjadi seni menonjolkan dedikasi palsu dari pemuka-pemuka mahasiswa IAIN Antasari, hingga kini tak pernah terdengar mahasiswa IAIN Antasari memberikan andil dan pengaruh besar terhadap problematika yang berstatus lokal Banjarmasin, padahal  tema diskusi seringkali mengarah pada solusi atas problematika nasional yang ada, jika kita pikirkan..., memberikan solusi nyata atas problematika di Banjarmasinpun tidak bisa, apalagi solusi nyata atas problematika di regional, lebih lebih memberikan solusi nyata atas problematika di nasional. Padahal solusi itulah yang terus-terusan menjadi pembahasan pada diskusi mahasiswa IAIN Antasari  selama berminggu-minggu yang terhitung selama  bertahun-tahun hingga saat ini, dan hingga kini pula  pembahasan skala nasional itulah yang menjadi tema  favorit dalam diskusi tersebut yang kita ketahui sebenarnya pembahasan tersebut sesungguhnya telah didominasi oleh kebutaan aktualisasi oleh mahasiswa- mahasiswa IAIN Antasari sendiri.
Tentu saja diskusi yang mereka lakukan lebih baik dari pada hanya tidur-tiduran di rumah, di kos, ataupun di asrama, tetapi tidak salah jika kita menangih dan menuntut aktualisasi dari teori yang mereka bawakan pada diskusi yang terus menerus  berjalan dan memang mesti ditagih dan  dituntut aktualisasi teori yang mereka paparkan  sebagai bentuk konsistensinya segala yang mereka seru dan mereka dengungkan. Menagih dan menuntut aktualisasi sebagai pembuktian akan fungsi mahasiswa yakni agent of change, sosial control, dan lain sebagainya, ataukah fungsi mahasiswa tersebut kini hanya berupa simbol belaka yang melekat pada sebagian besar mahasiswa IAIN Antasari yang sesungguhnya mereka  pun tidak bisa membuktikan dan mengkonsistenkan antara teori yang mereka seru dan mereka dengungkan dengan aktualisasikan yang mereka kerjakan. Seperti inikah sebagian besar sosok mahasiswa IAIN Antasari yang kita banggakan.
Dalam diskusi yang sering dijumpai, mahasiswa telah melakukan berbagai macam cara dalam menyampaikan teori sebagai wujud pembuktian dedikasi mereka, tetapi sungguh terdapat kesenjangan yang besar antara teori yang mereka paparkan dengan aktualisasi yang mereka kerjakan walaupun tidak sedikit dari mereka mencoba mengaktualisasikan teori yang mereka dengungkan dengan aksi turun kejalan.  Ketika sebagian mahasiswa mencoba mengaktualisasikan pandangan realita diri mereka dalam bentuk aksi turun kejalan, maka ketika itu haruslah aksi mereka mendapatkan perhatian dan pengaruh yang dominan tentang isu yang mereka lontarkan, tetapi fakta menunjukkan, segala aksi yang dilakukan mahasiswa IAIN Antasari tidaklah mendapatkan perhatian dan memberikan pengaruh yang kuat terhadap solusi atas problematika yang mereka ajukan, bagi saya terhadap aksi yang mereka lakukan sama halnya seperti himbauan jangan buang sampah sembarangan, yang tanpa mereka desak melalui aksi ataupun tidak, tetap tidak memberikan pengaruh kuat terhadap perhatian dan kinerja para anggota legislatif ataupun eksekutif, artinya disini selain mengharapkan anggota legislatif dan eksekutif mengambil keputusan untuk bertindak atas solusi dari problematika yang mereka dengungkan, haruslah ada solusi nyata yang mampu diwujudkan mahasiswa IAIN Antasari Banjarmasin atas teori pemaparan mereka sendiri yang dimulai dari yang termudah  yang mampu mereka aktualisasikan, sekiranya itu lebih baik dibandingkan mahasiswa yang memiliki intelektualitas dan dedikasi tinggi dalam berbicara tetapi aktualisasi yang mereka kerjakan bernilai nol.
Banyak hal yang dapat di aktualisasikan, dimulai dari yang kecil hingga yang besar, dimulai dari yang mudah hingga yang susah, dimulai dari yang sederhana hingga yang rumit, pertanyaannya...? adakah keinginan untuk mengaktualisasikan ?, study oriented menjadi alasan sebagian besar mahasiswa tidak mengaktualisasikan setiap teori yang mereka utarakan, atau pikiran-pikiran mereka yang mempersulit mereka untuk mengaktualisasikan setiap teori  yang mereka paparkan atau bahkan aktualisasi dari teori yang mereka utarakan tidak pernah mereka pikirkan, sungguh meraka  telah berbohong pada diri mereka sendiri , sungguh mereka telah menyalahi pandangan realita yang mereka amati.
Sinis melihat  kenyataan yang ada pada mahasiswa IAIN Antasari Banjarmasin. Selama bertahun-tahun diskusi dijalankan tetapi minim akan aktualisasi nyata yang dijalankan. Mari kita sebagai mahasiswa IAIN Antasari Banjarmasin sejak kini merubah sikap berusaha mengaktualisasikan teori yang didengungkan dan diajukan dimulai dari yang kecil, dari yang mudah, dan dari yang sederhana.

Berani berteori, berani beraktualisasi

By. zhufi

Perdebatan Kritis Mahasiswa, Ketika Intelektualitas dibalas dengan Hukum Primitif


Kehidupan mahasiswa senantiasa menampilkan dinamika pergerakan intelektualitas yang kritis dalam berpikir, berwacana, bersikap, dan bertindak. Berbagai wujud di interpretasikan dalam berbagai bentuk sebagai bukti akan keintelektualitasan mahasiswa baik berupa pergerakan, tulisan, hingga yang paling radikal sekalipun tetapi radikal dalam konteks mahasiswa adalah radikal yang berideologi sehingga tetap pada ranah dan batas-batas tertentu.
Dinamika pemikiran kritis adalah pengantar utama dari seorang mahasiswa dalam menyikapi berbagai bentuk realita maupun teori yang ada, dan pergerakan mahasiswa menjadi bentuk aktualisasi dari pemikiran kritis tersebut. Dan tidak jarang saling kritis-mengkritisi terjadi antar mahasiswa ataupun pada organisasi pergerakan mahasiswa itu sendiri, jadi mahasiswa sebagai subjek menjadi rival kepada mahasiswa lainnya, dan ini berarti intelektualitas menjadi pesaing bagi intelektualitas lainnya sehingga perdebatan pemikiran kritis pun berpolemik menjadi sarana pergolakan keintelektualitasan mahasiswa.
Tetapi tidak semua mahasiswa memiliki dedikasi intelektualitas yang memadai yang mampu menyikapi perdebatan kritis melalui pemikiran mereka dan terkadang kebiasaan primitif berupa kekerasan fisik yang berasal dari kultur mahasiswa tersebut berasal, terbawa-bawa pada pertarungan intelektualitas antar mahasiswa padahal hal ini sangat jauh berbeda, disini ranah mahasiswa, ranah untuk mengembangkan pola berpikir dalam keintelektualitasan bukan ranah orang kampung yang menggunakan kekerasan semaunya yang tidak pada tempatnya. Dan adakalanya sebagian dari mereka ketika dihadapkan ditengah keadaan yang terus mengkritisi antar mahasiswa, hal ini menuntut dan memberikan penekanan-penekanan untuk mereka dalam melontarkan keintelektualitasan sebagai pesaing mahasiswa kepada mahasiswa lainnya, tetapi ketidakberdayaan dan ketidaksanggupan intelektualitas merekalah sehingga opsi fisik sebagai hukum primitif pun menjadi satu-satunya pilihan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa hukum primitif akan berlaku bagi mahasiswa yang tidak mampu menyaingi mahasiswa lainnya dalam gesekan pemikiran yang kritis sehingga peristiwa berdarahpun menjadi satu-satunya cara sebagai jalan pintas untuk memenuhi hasrat sebagai pesaing.
Dan ketika intelektualitas dibalas dengan hukum primitif maka akan hilanglah kultur kemajemukan berpikir yang didapat dari kritis-mengkritisi dalam wilayah tersebut. Karena pada saat setiap bentuk kritis yang berwujud dalam keintelektualitasan dilontarkan oleh sebagian mahasiswa, maka akan ditenggelamkan melalui hukum primitif oleh sebagian mahasiswa lainnya, jelas, ranah ini menjadi terlalu sempit untuk mengembangkan keintelektualitasan mahasiswa menjadi mahasiswa ideal yang berfungsi sebagai agent of change, social control, the founding father, dan lain sebagainya.
Ironis memang ketika perdebatan kritis mahasiswa yang disikapi melalui keintelektualitasan tetapi dibalas dengan hukum primitif oleh mahasiswa lainnya, coba faham dan mengertilah bahwa kita adalah mahasiswa dan memang selayaknya mahasiswa dengan mahasiswa lainnya saling beradu argumen untuk menambah wawasan, saling melakukan pergerakan untuk membentuk lifeskill dan mahasiswa harus berpikir kritis dan memang mesti harus berpikir kritis karena berpikir kritis inilah yang menjadi khas kita sebagai mahasiswa dan berpikir kritis inilah yang membedakan kita sebagai elemen mahasiswa dengan stakeholders lainnya.
Tidak rindukah kalian dengan suasana dan kultur kampus yang penuh dengan keintelektualitasan mahasiswa, bukan intelektualitas dalam hal kepanitiaan maupun aksi tetapi kita butuh kultur kampus yang penuh dengan keintelektualitasan strategik dalam menyikapi segala hal. Tetapi kendala kita saat ini disaat sikap kritis sebagai ciri khas mahasiswa berdengung seolah terdapat kepanikan yang besar dalam menyikapi hal ini, parahnya kekritisan ini membekas selama bertahun-tahun didalam benak diri seseorang yang menjadi objek sudut kekritisan tersebut.
Padahal layaknya sebagai mahasiswa haruslah berani dikritisi dan berani mengkritisi. Berani dikritisi karena memang mahasiswa sebagai manusia tidak luput dari segala khilaf baik khilaf dalam berwacana, bersikap, maupun bertindak jadi kita sebagai mahasiswa sesungguhnya apabila dikritisi berterimakasih kepada setiap orang yang mengkritisi karena sesungguhnya mereka tersebut telah mencoba membantu kita untuk meluruskan pijakan kita tetap pada ranah yang ada agar kita tidak lupa diri sehingga melambung dan melayang tanpa sadar. Dan sesungguhnya rasa sakit dari ketersinggunngan saat dikritisi merupakan bentuk bahwa kita sadar akan perbuatan kita oleh karenanya pantaslah kita tersinggung dan fahamilah kawan bahwa kekritisan memang kadang kala  menyinggung karena jikalau tidak menyinggung susah untuk mengembalikan orang yang melayang dan melambung tersebut dalam proses kembali berpijak ke tanah agar tidak lupa diri tetapi terkadang kita apabila telah disinggung maka akan memendam rasa ketersinggungan hingga bertahun-tahun lamanya, berubahlah kawan kini kita mahasiswa bukan lagi orang kampung, kini kita sebagai  tokoh intelektual, tokoh militan bukan lagi seperti kita yang dulu, anggota DPR saja meski mereka berkelahi didalam persidangan tetapi tetap adem ayem saat diluar persidangan makanya tidak aneh bila setelah mereka berkelahi di dalam persidangan lalu mereka makan bersama ketika persidangan usai, karena mereka bisa menempatkan diri. Dan kita pula sebagai mahasiswa jangan takut untuk mengkritisi segala sesuatu tetapi perlu diingat mengkritisi bukan untuk mencari kesalahan-kesalahan suatu hal tetapi lebih sebagai mencari dan mengungkapkan kebenaran-kebenaran yang ada yang memang sesuai dengan apa yang terjadi sesungguhnya.
Dalam menghadapi kenyataan segala hal diatas saatnya kita sebagai mahasiswa mengembalikan kultur kampus akan keintelektualitasan dan menjadikan kampus sebagai pusat aktivitas untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran baik dalam bentuk diskusi, aktualisasi nyata, perdebatan kritis, maupun segala hal lainnya dengan menyikapi pandangan intelektualitas dengan intelektualitas bukan menyikapi intelektualitas dengan hukum primitif dan kita sebagai mahasiswa mestilah dapat menempatkan diri pada tempatnya dan janganlah ketersinggungan di forum terbawa-bawa pada lokasi dan wilayah yang berbeda karena orang yang bijak adalah orang yang mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya.

By. Zhufi

Orang-Orang yang Terbuang



Tanpa kita sadari bahwa orang-orang yang terbuang, orang-orang yang diasingkan, orang-orang yang tidak dianggap, orang-orang yang penuh dengan kekecewaan ada disekitar kita, tetapi meski mereka ada disekitar kita  terkadang kita tidak tahu akan keberadaan mereka atau memang kita tidak mau tahu tentang kejadian yang menimpa mereka, padahal sesungguhnya mereka sedang menghadapi badai tekanan yang berat yang memang tidak tertampakkan dari wajah mereka, oleh karenanya penting bagi saya untuk bertanya kepada kita semua.
Pernahkah kita berpikir mengenai orang-orang yang terbuang tersebut? Pernahkah kita berpikir mengenai orang-orang yang diasingkan? Pernahkah kita berpikir mengenai orang-orang yang tidak dianggap? Pernahkah kita berperpikir mengenai orang-orang yang penuh dengan kekecewaan? Ketika seseorang telah miris akan kenyataan yang telah ia hadapi, maka ketika itu pula terdapat potensi besar didalam dirinya untuk melakukan perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan besar.
Adalah pendapat umum bahwa orang-orang seperti ini lebih dominan untuk dikucilkan dan dipisahkan dari golongan mereka, padahal tidakkah mereka berpikir bahwa hal ini sangat begitu menyakitkan dan sangat memberi beban psikologis yang berat yang menjadi faktor perubahan besar akan segera terjadi didalam diri mereka. Tak sedikitpun terbayangkan oleh orang-orang sekitar tentang perubahan itu. Perubahan yang menentukan esensi diri dalam dua hal, antara hancur termakan arus atau tetap bertahan meski terbakar diatas bara api menyala.
Ada satu hal yang terpenting, ketika seseorang mampu bertahan dari keterbuangan, keterasingan, keterkecewaan, ketidakteranggapan, maka jangan salah bahwa orang tersebut akan menjadi jauh lebih baik dibandingkan dengan orang-orang sekitar lainnya karena seseorang yang tiada henti mendapatkan tekanan-tekanan pada dirinya, pada pikirannya, pada hatinya, dan pada keyakinannya, maka seseorang tersebut akan dipaksa oleh suatu keadaan untuk melakukan perubahan-perubahan dan pembaharuan-pembaharuan secara besar-besaran didalam hidupnya untuk segera bangkit menghadapi segala masalah yang ada. Tetapi jika ketidakmampuan untuk bertahan menghadapi tekanan-tekanan merasuk kedalam diri seseorang maka ketidakberdayaanlah yang menyebabkan hancurnya pikiran, dan hati seseorang karena ketidaksanggupannya menerima kenyataan dan melihat realita yang ada. Maka wajarlah jika kita menemui  kejadian banyaknya sesorang yang melakukan jalan pintas untuk menyelesaikan masalahnya tersebut seperti bunuh diri, nge-drug, dan lain sebagainya.
Hai orang-orang yang terbuang, yang terasingkan, yang kecewa, yang tidak dianggap, meski pedang kepedihan menusuk menyayat daging, meski lingkungan bagaikan sekumpulan binatang yang siap memakan, meski harapan bagaikan fatamurgana. Jangan bersedih kawan, walau fisik, pikiran, dan hati telah terkuras oleh sakitnya menghadapi realita keadaan, walau hujjatan seperti sekumpulan anak panah yang siap sigap untuk menusuk tulang rusuk, tetap jangan menyerah kawan karena memang perjuangan membutuhkan kesungguhan, karena memang akan ada kemudahan sesudah kesusahan, karena memang akan ada senyuman setelah tangisan, karena gelap akan segera tergantikan, dan Tuhan pencipta takdir pun telah mengatakan “tidak akan kutimpakan ujian kepada hamba-Ku kecuali sesuai batas kemampuannya”.
Dan kepada semua orang perhatikanlah, cobalah untuk memahami situasi orang-orang yang terbuang, berusahalah mencoba mengerti hati dari orang-orang yang terbuang, jangan menggunakan ego primitif kepada mereka karena sesungguhnya jika mereka bertukar posisi dengan anda, maka saat itulah anda akan benar-benar mengerti dan memahami bagaimana tekanan-tekanan yang dialami oleh orang-orang yang terbuang.
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (QS. Alam Nasyrah:5-6).
By. Zhufi